
Dalam pertarungan politik, satu kelemahan Gus Dur. Akan tetapi sekaligus menunjukkan kebesaran jiwanya. Yakni dia tidak punya keinginan melakukan rekayasa politik. Ini menunjukan bahwa Gus Dur bukan politisi, melainkan dia negarawan.
Gus Dur menghendaki kepemimpinannya berjalan wajar-wajar saja. Dia percaya bahwa sejarah yang kelak akan membuktikan. Apakah dia benar atau keliru dengan apa yang dia lakukan.
Namun dia pada waktu itu punya niat mempertahankan kekuasaannya, dia sepertinya tidak akan berhasil juga. Sebab dia tidak punya instrumen. Bahkan untuk melakukan konsolidasi birokrasi istana saja, dia tidak punya orang. Yakni mereka di sekitarnya yang bisa diandalkan untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Padahal di sekitar dia ada orang-orang orde baru. Mereka satu-satunya yang punya pengalaman untuk melakukan hal tersebut. Tapi Gus Dur tidak mau. Ini karena jika dia menggunakan mereka, dia tidak hanya akan berurusan dengan kepentingan mereka yang sudah pasti berlawanan dengan semangat reformasi. Tetapi konsekuensinya Gus Dur juga harus menerima cara berpikir mereka. Presiden ke-4 Republik Indonesia ini tidak mau melakukan sesuatu yang mengingkari prinsipnya sendiri. Apalagi hanya demi mempertahankan kursi kepresidenannya.
Senyampang bangsa Indonesia saat itu baru saja membebaskan dirinya dari rezim Orde Baru. Rezim yang berkuasa secara angker selama 32 tahun. Bangsa Indonesia masih harus banyak belajar dalam berdemokrasi, dalam menangani masalah hak asasi, serta dalam menghargai perbedaan. Gus Dur tidak ingin pertarungan politik membelokkannya ke langkah-langkah yang akan membuat proses pembelajaran tersebut bergerak mundur.
Sehingga, karena memang sudah tidak mungkin, Gus Dur melepas segala sesuatu apa adanya. Dia tidak memiliki dan tidak menginginkan mesin yang bekerja untuk mengamankan kekuasaannya. Karena mesin Gus Dur adalah dirinya sendiri.[]
*) Penulis merupakan Ketua Umum Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jember.